—Begitu sederhana, kita memulakan
Perjumpaan sesaat yang menyekat tatap, menggelitik getarku seketika. Menghadirkan bilur senyum yang menyepuh pagi dan malamku. Tanpa ragu, kucetak prasasti cinta di atas keakuan perasaanku. Begitupun dirimu.
—Begitu bermakna, kita jalani kebersamaan
Selain bahagia, apalagi yang bisa kureka-reka saat bersamamu. Selebihnya adalah damba untuk segera bisa mengukir janji suci dalam doa-doa yang ditasbihkan. Menjadi dua manusia yang hidup dengan dan atas nama cinta saja, lain tidak. Membela cinta tanpa harus bertanya-tanya.
—Begitu lelah, kita mencari arti
Betapa susah memahami maunya hati. Betapa sulit mengerti cinta yang menancapkan napas kegelisahan di setiap jejak yang kita pijak. Kau hidup dalam adamu, begitu pun aku. Titik temu dua hati yang kita iba-iba dengan peluh dan doa, tak jua bersambut nyata. Tawa, tangis dan amarah mencetak warna-warni nyata dalam barisan cinta yang kita coba endapkan, tanpa lelah. Tanpa kita sadari lajunya, tahu-tahu lelah itu tiba-tiba menciumi tapal batas pencapaiannya.
—Begitulah cinta, beginilah kita
Cinta memang tak pernah salah. Cinta yang semestinya menuntun kita menjadi tiang dan jembatan yang saling seia tanpa syarat, ternyata belum juga mengewantah utuh, lebur dalam diri kita. Selain bersandar pada apa yang kita yakini sebagai cinta, selebihnya kita hanya bisa jalani dan berpasrah dalam doa. Berharap cinta dan penyatuan setia berjalan beriringan di akhir cerita. Tapi jika tidak? Mungkin, semestinya biarkan cinta dan perpisahan bergandengan dengan rahasianya.