23.8.11

Harapan yang terbelah

Haruskah kita menyalahkan nurani kita yang telah mengempaskan napas kegelisahan untuk setiap acuh yang telah terpendam sekian lama?

Nurani adalah diri kita. Kita tidak dapat berdusta dan membohongi diri kita sendiri.

Biarkan ia mengalir dan mengalir, berkelok dan menyimpan keteduhannya. Keteduhan yang melelapkan, sampai ia tiada.

Mungkin lebih baik dengan melenyapkannya. Saling membenci dengan mengingkari nurani kita.

Apakah aku terlambat? Ini memang tampak lebih baik. Kita mengakhirinya tapi tidak untuk memaksa kita mengakhirinya.

Biarlah ia hilang dalam kesenyapan masa dengan sendirinya. Seperti harapan itu dulunya tidak ada!

Tidak ada komentar: