23.8.11

Begitulah cinta, beginilah kita

—Begitu sederhana, kita memulakan

Perjumpaan sesaat yang menyekat tatap, menggelitik getarku seketika. Menghadirkan bilur senyum yang menyepuh pagi dan malamku. Tanpa ragu, kucetak prasasti cinta di atas keakuan perasaanku. Begitupun dirimu.

—Begitu bermakna, kita jalani kebersamaan

Selain bahagia, apalagi yang bisa kureka-reka saat bersamamu. Selebihnya adalah damba untuk segera bisa mengukir janji suci dalam doa-doa yang ditasbihkan. Menjadi dua manusia yang hidup dengan dan atas nama cinta saja, lain tidak. Membela cinta tanpa harus bertanya-tanya.

—Begitu lelah, kita mencari arti

Betapa susah memahami maunya hati. Betapa sulit mengerti cinta yang menancapkan napas kegelisahan di setiap jejak yang kita pijak. Kau hidup dalam adamu, begitu pun aku. Titik temu dua hati yang kita iba-iba dengan peluh dan doa, tak jua bersambut nyata. Tawa, tangis dan amarah mencetak warna-warni nyata dalam barisan cinta yang kita coba endapkan, tanpa lelah. Tanpa kita sadari lajunya, tahu-tahu lelah itu tiba-tiba menciumi tapal batas pencapaiannya.

—Begitulah cinta, beginilah kita

Cinta memang tak pernah salah. Cinta yang semestinya menuntun kita menjadi tiang dan jembatan yang saling seia tanpa syarat, ternyata belum juga mengewantah utuh, lebur dalam diri kita. Selain bersandar pada apa yang kita yakini sebagai cinta, selebihnya kita hanya bisa jalani dan berpasrah dalam doa. Berharap cinta dan penyatuan setia berjalan beriringan di akhir cerita. Tapi jika tidak? Mungkin, semestinya biarkan cinta dan perpisahan bergandengan dengan rahasianya.

Harapan yang terbelah

Haruskah kita menyalahkan nurani kita yang telah mengempaskan napas kegelisahan untuk setiap acuh yang telah terpendam sekian lama?

Nurani adalah diri kita. Kita tidak dapat berdusta dan membohongi diri kita sendiri.

Biarkan ia mengalir dan mengalir, berkelok dan menyimpan keteduhannya. Keteduhan yang melelapkan, sampai ia tiada.

Mungkin lebih baik dengan melenyapkannya. Saling membenci dengan mengingkari nurani kita.

Apakah aku terlambat? Ini memang tampak lebih baik. Kita mengakhirinya tapi tidak untuk memaksa kita mengakhirinya.

Biarlah ia hilang dalam kesenyapan masa dengan sendirinya. Seperti harapan itu dulunya tidak ada!

18.6.11

Lalu semuanya membisu.

Hanya bisa sisakan sedikit sungging saat bertemu

Entah sampai kapan kau libatkan aku dalam keterpakuan tanpa nada

Buncah rasa luar biasa saat bersamamu, bersama kita.

Tak merangkul waktu lagi, dan aku tak terbiasa sendiri lagi.

Dalam sadarku telah kusunting luka, dan kuterima.

Sakitnya ada didalam sela heparku, namun biarlah hanyaku dan denyutan ini merasa saja

Inikah yang kubela??

Maaf aku tak menyajikan apa-apa kecuali seikat kebersamaan.

Kupikir kamu mulai kecewa, mungkin??

Entah dimana, entah kapan masanya, rasa itu memanggil kita lagi?

Jika itu terjadi semoga inilah tujuan kita berlari – sekali lagi.

Maafkan segala khilaf yang ada, biarkan terlarung bersama ego yg membuncah

Biarkan menguap seperti amarah yang sempat terbesit

Aku pamit.

23.5.11

membunuh rasa, jika saatnya...

Apakah ini saatnya membunuh perasaanku?! Melepaskan segala rindu yang mengendap menjadi debu berterbangan, bersatu bersama langit membentang. Apakah aku mampu? Sementara perasaan ini telah menjelma prasasti yang membatu. Hidup di segala adaku. Dalam diam, jarak bahkan luka sekalipun.

Betapa susah memahami arti diri. Betapa sulit menyelami maunya hati. Jalan membentang bertabur kasih yang kugelar, tetap saja membuatmu bergeming. Padahal, segala adaku telah kubuka untukmu tanpa tirai sehelaipun.

Jika memang akhirnya aku harus membunuh perasaan ini, ijinkan aku untuk tetap mengenangmu. Tidak juga karena apa, cinta sejati tak bisa dibunuh pun bunuh diri. Dia akan tetap mengalir di setiap alunan nada kasih yang menggema di jagad maya. Ijinkan aku tetap mencintaimu, walau hanya dalam diam, dalam senyap. Hingga suratan takdir membukakan rahasia kalamnya. Mungkin hanya dengan cara itu, aku bisa tetap mencintaimu. Walau mungkin, tak pernah nyata juga akhirnya.

Ada jera menderu dalam kalap cintaku. Merobek janji hati yang memahat batu. Kobar rindu yang pernah memanaskan tungku di ujung penantian ini, perlahan meleleh dalam ego yang mulai runtuh. Dingin menghanyutkan di ruang hampa. Hanya bisa mendesis panjang menyebut namamu, tapi tersia-sia. Luruh bersatu dengan tanah. Haruskah jera ini menguntit di sendiriku yang makin mematikan? Dalam cengkraman rindu yang mendendam. Sekarat di batas mimpi semu

28.1.11

KUCIUM RINDUKU

Kau tahu apa yang aku cium sekarang? Kerinduan.

Menanti dan menunggu hadirmu membuat jantungku berdegub kencang, dan mematuk nada berulang-ulang.
Seperti menabuh genderang di belantara tak bertuan.
Hingar gelombang suaramu telak kudengar…dan bisa kuhirup napasmu dari kejauhan.
Menunggumu berjalan ke pangkuan, menghadirkan rindu menusuk tajam.

Apalagi yang bisa kureka-reka saat itu, selain merasakan dan menyentuh magis rindumu, selebihnya aku hanya ingin mengurai segala tentangmu, tanpa pengecualian.

PASRAH

Apa yang kurindukan saat ini? Menangis di sudut bibirmu.
Lalu, membiarkan diriku meratapi kebahagiaan yang menjamu barisan hari, saat atau tidak bersamamu.

Hari itu, detik ini, dan —mungkin, nanti.

Sejauh melangkah, tak surut membabibuta jejakku menilas ranah penyatuan perasaan dari keterpisahan
—jarak juga kenyataan.
Memerdekakan diri sejenak, lalu bertekuk lutut pada hatimu —lagi, satu-satunya.

Hanya itu, kuasaku sepertinya.

11.10.10

Kupasung rinduku

sekejap terhenti detak jatungku
sekelebat bayangmu melaju cepat menjalari ruas-ruas otakku
.....
aku terdiam,
kupacu semua larik-larik yang tercecer untuk mendapatkan gambaranmu.
kosong!

dan bayanganmu memasungku.